Trying Perfectly With Imperfection

credit by @amrazing

Manusia kadang ingin semua serba sempurna, 
padahal tidak ada yang benar-benar sempura di dunia ini. Ekspektasi selalu kalah oleh realita. Maka tak jarang tingkat stress selalu meningkat. Nah buat orang-orang yang gak siap, hal ini tentu melelahkan. Selalu berhadapan dengan hal yang tak terduga. Selalu. Dan yaa saya orang yang tidak siap dengan perubahan mendadak. Belom berkelurga dan menjadi ibu saja rasanya sudah melelahkan.


Ingin rasanya mengambil waktu dan tak perduli dengan masalah rumah, masalah kantor, fokus menyelesaikan masalah diri sendiri. Semua dimulai dari diri. Memperbaiki benang yang kusut. Memperbaiki mood yang labil. Membersihakan hal-hal menyesakkan. Berteriak sekeras-kerasnya. Menangis. Luapkan semua emosi.


Di rumah, ibu saya orang yang ingin melihat manusia ini sempurna. Tanpa pernah marah, kecewa, mengeluh, pokoknya harus gembira dan ceria. Hal yang sulit sekali dilakukan. Suasana dan otak sudah sungguhan jenuh. Jenuh dengan ekpektasi yang terlalu tinggi. Ekspektasi akan dunia sudah berubah. Dunia tak lagi sama. Orang baik bisa terpenjara, orang jahat melenggang bebas. Pertandingan olahraga yang dikira menarik karena hanya selisih tipis diakhir babak, justru ada pihak-pihak yang memanfaatkan berlaku curang. Score telah diperjualbelikan. Mempermalukan semua institusi terkait. Dunia telah berubah. Tak ada lagi yang baik beneran baik, yang buruk akan terus buruk. Sulit untuk memperkirakan perilaku manusia. Seseorang yang berharap pada manusia akan terus dikecewakan. Berharap manusia terus bersiap baik hanya buang-buang waktu. Manusia bisa tiba-tiba menjadi kejam dan jahat.


Seseorang yang berharap kesempurnaan, mudah sekali terkena panik. Panik karena apa yang dia rencanakan, panik karena ekpektasi terlalu tinggi, panik karena dunia berubah sepersekian detik. Mungkin butuh tombol di tubuh ini, tombol yang kalo ditekan, bisa sabar level 10/10. Dia harus paham dan bisa beradaptasi sepersekian detik pula. Beradaptasi menerima dunia ini. Menerima hal-hal yang terus berubah. menerima bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diperkirakan, bahwa dunia ini tidak sempurna. Bahwa jatuh dan gagal adalah hal wajar dan lumrah. Dan itu bukan suatu masalah.


Seperti jemuran yang tiba-tiba sudah diangkat padahal masih basah dan diganti oleh baju-baju lain dari mesin cuci. Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhh. Lalu berlanjut untuk mengeringkan dengan kipas angin. 


Panik yang tak perlu dan tentu sangat melelahkan. Belom lagi ditambah perut ikutan mulas. Lalu malah keluar keringat dingin. Fase yang tidak menyenangkan dari seseorang yang sedang tumbuh.


Panik ini muncul karena kebiasan kita yang ingin serba sempurna. Ingin terlihat baik di depan orang lain. Panik karena akan mengecewakan orang lain. Panik karena tak sangup membahagikan orang lain. Padahal bukan tugas kita untuk membahagian orang lain.


Tugas kita adalah membahagiakan diri sendiri. Menerima diri sendiri. Jika ini terlalu sulit lantas apalagi tujuan hidup ini?


Terkadang kita, memang terlalu keras terhadap diri sendiri. Berharap diri ini sempurna mampu menyenangkan semua orang. Menghakimi setiap jatuh dan gagal yang datang tanpa kenal permisi. Menolak mengakui bahwa diri ini ternyata lemah. Menolak bahwa masih ada kekurangan. Seolah-olah tak ada lagi hari esok yang masih bisa diperbaiki. Seakan-akan tak punya waktu lagi hingga terus menyalahkan diri mengapa tidak bisa lebih baik. Menyalahkan diri karena kekurang-kekurangan di masa lalu.


Padahal setiap pagi, 
saat terbangun dan menyadari masih diberi napas, masih diberi kesempatan hidup. Masih ada harapan untuk memperbaiki, masih ada harapan untuk kebaikkan. Masih ada harapan mencari kelebihan yang patut dibanggakan. Mencari kelebihan-kelebihan diri selayaknya lebih mudah dibanding terus teringat masa lalu yang sudah jauh tak bisa kembali meski hanya berlalu sedetik yang lalu.

Komentar