Trying Perfectly With Imperfection
padahal tidak ada yang benar-benar sempura
di dunia ini. Ekspektasi selalu kalah oleh realita. Maka tak jarang tingkat
stress selalu meningkat. Nah buat orang-orang yang gak siap, hal ini tentu
melelahkan. Selalu berhadapan dengan hal yang tak terduga. Selalu. Dan yaa saya
orang yang tidak siap dengan perubahan mendadak. Belom berkelurga dan menjadi
ibu saja rasanya sudah melelahkan.
Ingin
rasanya mengambil waktu dan tak perduli dengan masalah rumah, masalah kantor,
fokus menyelesaikan masalah diri sendiri. Semua dimulai dari diri. Memperbaiki
benang yang kusut. Memperbaiki mood yang labil. Membersihakan hal-hal
menyesakkan. Berteriak sekeras-kerasnya. Menangis. Luapkan semua emosi.
Di
rumah, ibu saya orang yang ingin melihat manusia ini sempurna. Tanpa pernah
marah, kecewa, mengeluh, pokoknya harus gembira dan ceria. Hal yang sulit
sekali dilakukan. Suasana dan otak sudah sungguhan jenuh. Jenuh dengan
ekpektasi yang terlalu tinggi. Ekspektasi akan dunia sudah berubah. Dunia tak
lagi sama. Orang baik bisa terpenjara, orang jahat melenggang bebas.
Pertandingan olahraga yang dikira menarik karena hanya selisih tipis diakhir
babak, justru ada pihak-pihak yang memanfaatkan berlaku curang. Score telah
diperjualbelikan. Mempermalukan semua institusi terkait. Dunia telah berubah.
Tak ada lagi yang baik beneran baik, yang buruk akan terus buruk. Sulit untuk
memperkirakan perilaku manusia. Seseorang yang berharap pada manusia akan terus
dikecewakan. Berharap manusia terus bersiap baik hanya buang-buang waktu.
Manusia bisa tiba-tiba menjadi kejam dan jahat.
Seseorang
yang berharap kesempurnaan, mudah sekali terkena panik. Panik karena apa yang
dia rencanakan, panik karena ekpektasi terlalu tinggi, panik karena dunia
berubah sepersekian detik. Mungkin butuh tombol di tubuh ini, tombol yang kalo
ditekan, bisa sabar level 10/10. Dia harus paham dan bisa beradaptasi
sepersekian detik pula. Beradaptasi menerima dunia ini. Menerima hal-hal yang
terus berubah. menerima bahwa ada sesuatu yang tidak bisa diperkirakan, bahwa
dunia ini tidak sempurna. Bahwa jatuh dan gagal adalah hal wajar dan lumrah.
Dan itu bukan suatu masalah.
Seperti
jemuran yang tiba-tiba sudah diangkat padahal masih basah dan diganti oleh
baju-baju lain dari mesin cuci. Hhhhhhhhhhhhhhhhhhhh. Lalu berlanjut untuk
mengeringkan dengan kipas angin.
Panik
yang tak perlu dan tentu sangat melelahkan. Belom lagi ditambah perut ikutan
mulas. Lalu malah keluar keringat dingin. Fase yang tidak menyenangkan dari
seseorang yang sedang tumbuh.
Panik ini
muncul karena kebiasan kita yang ingin serba sempurna. Ingin terlihat baik di
depan orang lain. Panik karena akan mengecewakan orang lain. Panik karena tak
sangup membahagikan orang lain. Padahal bukan tugas kita untuk membahagian
orang lain.
Tugas
kita adalah membahagiakan diri sendiri. Menerima diri sendiri. Jika ini terlalu
sulit lantas apalagi tujuan hidup ini?
Terkadang
kita, memang terlalu keras terhadap diri sendiri. Berharap diri ini sempurna
mampu menyenangkan semua orang. Menghakimi setiap jatuh dan gagal yang datang
tanpa kenal permisi. Menolak mengakui bahwa diri ini ternyata lemah. Menolak
bahwa masih ada kekurangan. Seolah-olah tak ada lagi hari esok yang masih bisa
diperbaiki. Seakan-akan tak punya waktu lagi hingga terus menyalahkan diri
mengapa tidak bisa lebih baik. Menyalahkan diri karena kekurang-kekurangan di
masa lalu.
Padahal
setiap pagi,
saat terbangun dan menyadari masih diberi napas, masih diberi
kesempatan hidup. Masih ada harapan untuk memperbaiki, masih ada harapan untuk
kebaikkan. Masih ada harapan mencari kelebihan yang patut dibanggakan. Mencari
kelebihan-kelebihan diri selayaknya lebih mudah dibanding terus teringat masa
lalu yang sudah jauh tak bisa kembali meski hanya berlalu sedetik yang lalu.
Komentar
Posting Komentar