Masihkah TVRI dan RRI Eksis?


Pada tahun 1962 sejarah pertelevisian di Indonesia dimulai ketika TVRI mengudara untuk pertama kalinya dengan siaran langsung HUT Kemerdekaan Republik Indonesia ke-17 di Istana Negara Jakarta dan liputan Asian Games IV di Jakarta. TVRI awalnya adalah medium untuk mempromosikan program-program pemerintah dan diperlakukan sebagai alat propaganda pemerintah. Fakta sejarah inilah yang menjadi kendala serius ketika muncul keinginan untuk mentransformasikan TVRI menjadi Lembaga Penyiaran Publik. Sebab sejak dari awal TVRI memang tidak diorientasikan sebagai media untuk memenuhi kepentingan-kepentingan publik. (Kitley, 2001 dalam Sudibyo, 2004 : 280).
RRI yang lahir pada tahun 1945 menjadi sejarah sebagai pengawal kemerdekaan dan menyiarkan berita kemerdekaan ke seluruh pelosok Indonesia. Sejak saat itu RRI menjdi primadona masyarakat sebelum menjamurnya radio-radio swasta.
Saat ini hampir sebagian besar masyarakat sudah jarang sekali menonton TVRI apalagi mendengarkan RRI. Lebih-lebih generasi Y[i] yang lebih sering mendapat informasi dari gawainya[ii]. Beragam alternatif tontonan membuat masyakarat kini tidak lagi menjadikan lembaga penyiaran publik sebagai sumber informasi utama. Maraknya real time online yang menjamur lebih dipilih masyarakat karena kecepatan update beritanya. Lembaga Penyiaran Publik seolah kehilangan pamornya. Ditambah lagi kini makin maraknya TV berlangganan yang lebih banyak menampilkan tayangan asing. Bukan hal mustahil, masyarakat sekarang justru lebih senang lembaga penyiaran publik asing dari pada lembaga penyiaran publik dalam negeri.
Siaran RRI pun saat ini sudah banyak ditinggalkan kaum muda. Apalagi sejak bermunculan radio-radio swasta yang menawarkan beragam alternatif program siaran yang lebih menarik, RRI kian meredup. Sudah jarang sekali ditemukan masih ada orang setia mendengarkan RRI. Dengan dunia yang semakin menggelobal, radio asing pun kini sudah bisa didengarkan di Indonesia dengan mudah. Hal inilah yang membuat tantangan eksistensi RRI semakin berat. 
Untuk mendapatkan kembali peminatnya, TVRI dan RRI harus menggali kreatifitas dan kualitas siaran, karena sejak kehadiran televisi dan radio swasta, membuat khalayak tersegmentasi. Khalayak tidak sadar telah dijejali oleh acara-acara yang terlalu berisikan tayangan hiburan. Jadi tak heran bahwa kecenderungan acara-acara yang terlihat sepert infotainment, sinetron dan reality show memang lebih diminati dibandingkan acara-acara mendidik dan penuh informasi. Tayangan mendidik pada akhirnya dipersepsikan sebagai tayangan yang membosankan. Stasiun TV swasta berlomba-lomba mengemas acara sedemikian rupa yang ditunjukkan untuk mencari iklan sebanyak-banyaknya. Yang terjadi adalah tidak ada kontrol sosial akibat efek dari acara tersebut. Seperti yang sering kita lihat, adu mulut antar politisi, eksploitasi tubuh perempuan dalam sinetron dan komodifikasi kemiskinan dalam reality show dalam program acara televisi semuanya diukur berdasar materi semata[1][iii]. Hal sama kurang lebih juga terjadi pada RRI. Stasiun radio swasta yang berada di daerah tak jarang menggunakan kata-kata tidak pantas bahkan musik yang disetel pun tidak semua dapat didengarkan semua umur. Meskipun tidak semua radio swasta seperti itu. Butuh filter guna menyaring informasi-informasi yang siarkan di radio.
Kecenderungannya adalah, masyarakat akan jenuh dengan tayangan dan siaran tersebut, yang mengarah pada keseragaman, karena hampir semua televisi menyiarkan acara yang hampir sama pun semua radio swasta kini berisi musik-musik selama 24jam, menyiarkan sedikit porsinya untuk siaran berita dan edukasi. Ketika masyarakat mulai jenuh dengan tayangan miskin informasi dan edukasi, masyarakat pun rindu akan tayangan dan siaran yang tayangan berkualitas, disinilah TVRI dan RRI diharapkan hadir mengisi kejenuhan tersebut.
Disisi lain, sampai saat ini masyarat terlanjur beranggapan bahwa TVRI & RRI masih “berplat merah”. Belum terjadi perubahan cara pandang terhadap status TVRI dan RRI sebagai lembaga penyiaran, serta dalam melihat pengelolaan APBN sebagai dana publik. Menggunakan APBN dianggap sama artinya dengan menggunakan uang pemerintah, dengan konsekuensi pemerintah berhak melakukan intervensi. Hal inilah yang terjadi dengan TVRI dan RRI. Masih kuat pemahaman bahwa APBN yang dialokasikan untuk TVRI dan RRI adalah dana pemerintah, bukan dalam pengertian dana publik. Maka, terus muncul tuntutan agar TVRI dan RRI senantiasa berpihak kepada kepentingan pemerintah yang sedang berkuasa[iv].
Bagaimana TVRI dan RRI dapat menjangkau seluruh NKRI jika DPR dan pemerintah yang memiliki otoritas penentu anggaran mengalokasikan anggaran jauh dari yang dibutuhkan? Pendanaan TVRI dan RRI sebagai Lembaga Penyiaran Publik seharusnya dikembalikan kepada masyarakat. Pemerintah dan DPR hanya sebagai pengawas dan mengawal jalannya penyiaran yang sehat dan ideal seperti tujuan awal didikannya Lembaga Penyiaran Publik.








Komentar