Perkara Waktu




Akhir-akhir ini beberapa teman sekitar sudah banyak yang dilamar. Sudah nemukan jodohnya. Kata orang menikah memang hanya perkara waktu. 


Waktu ketika siap untuk berbagi ranjang dan selimut bersama. 
Berbagi gayung dan peluh keringat setelah seharian bekerja. 
Berbagi pinggiran pizza dan kulit ayam yang kamu sisakan. 
Berbagi cangkir coklat panas kala hujan datang menyapa. 
Berbagi apapun sepanjang sisa usia hingga keriput menua.


Bukan hanya sekedar meminta Tuhan agar didekatkan.


Tapi sungguhkan yakin ia yang akan kau liat wajahnya setiap hari? 
Sungguhkan ia yang kau ingin titipkan masa depan bersama? 
Sungguhkan ia yang akan kamu kecup keningnya dan kamu selipkan doa agar kelak kalian selalu bersama? 
Sungguhkah ia layak untk jadi ayah dari anak dirahimmu? 
Sungguhkah ia layak untuk membimbing ke jalan Tuhan dan mendapat keberkahan bersama 
Sunggukah ia sanggup meredakan amarah dan sikap labilmu? 
Sungguhkah ia yang memang selalu kau nanti kepulangannya?
Sungguhkah ia yang kau siapkan sarapan setiap pagi? 


Mari dibalik,
Pantaskah saya jadi ibu dari anak-anaknya kelak?
Pantaskah saya menghiburnya kala dunia begitu durjana dengan segala tingkahnya
Sudahkah kesabaran saya pantas bersanding meredam setiap masalah yang akan dipikul bersama.
Sudahkan ketangguhan saya teruji kala persoalan datang bertubi dan siap untuk berbeda pendapat bahkah berdebat dengan orang yang kelak saya sebut imam keluarga. 


Saya tau, manusia tak ada yang sempurna. Tapi, saya tak pernah berpikir menikah akan membuat saya kelak bisa bahagia dengan dia. Tapi saya ingin saat nanti menikah, saya lebih bahagia dari sekarang. Sendiri dan bersama akan sama-sama bahagia. Saya juga tak berharap dia bisa menerima dan mengerti segala kecemasan (panic attack) saya, hingga dengan dia kecemasan saya hilang. Saya hanya berharap kami nanti mampu menangani segala masalah yang ada hingga saya bisa mengendalikan kecemasan tidak mengganggu kehidupan bersama. Apakah ini terlalu berlebihan?


Ribet? Saya itu terlalu banyak berpikir dan cenderung tidak menyukai hal yang sifatnya dinamis. Terkadang saya tidak siap dengan perubahan, jadi yaaa saya ingin segalanya memang dipersiapkan secara matang. 



Lantas saya berpikir bahwa selama ini, saya yang egois. Sepertinya hanya saya terus berdoa untuk didekatkan olehnya. Tanpa berpikir bahwa ia memang pantas. Saya jadi ragu. 
Saya takut bahwa dia yang selama ini dipinta, bukan jodoh yang sudah dipilihkan Tuhan terbaik untuk saya. 


Perlahan, saya coba ikhlaskan dan saya pasrahkan saja semua. Siapapun nanti, jika bukan ia, akan saya terima. 


Repot yaa jadi jomlo itu. Sering jadi sasaran buat dicengcengin dan dijodoh-jodohin. Tapi yaaa mau gimana lagi, hingga saat ini memang belom ada yang berterus terang ingin serius menjadikan saya masa depannya. 

Komentar