Rindu itu Memiliki Nama

Ketika akhirnya adek memutuskan akan menempuh sekolah di Jepang, saya tidak mempersiapkan apa-apa. Tidak mempersiapkan emosi apapun. Hingga, sehari-dua hari dia pergi, di perjalanan pulang kantor, tiba-tiba saja pipi saya basah. Ternyata saya sudah merasa kangen. Kangen membawakan jagung manis kesukaannya, kangen membelikan bakso atau hanya sekedar kue leker yang dibeli di depan Pamella. Saya hanya belum terbiasa dengan ketidakhadirannya di rumah. Malam saat dia pergi pun entah kenapa saya gelisah. Baru kali itu saya merasa tidak bisa tidur.


Hari berikutnya,



Saya mulai terbiasa dengan kamar kosong di depan pintu samping rumah. Kamar yang tidak pernah lagi ada lampu menyala jika tidak ada orang yang masuk ke dalam. Kamar yang memang dibiarkan kosong. Hanya tinggal beberapa perabot seperti: tempat tidur, lemari dan kipas angin.

Saya mulai terbiasa melakukan pekerjaan rumah sendirian. Mengajarkan saya bahwa mengeluh akan membuat hidup semakin berat lagi. Bangun lebih pagi untuk sekedar membantu ibu melakukan pekerjaan rumah sebelum berangkat kerja. Tidak ada lagi alarm yang selalu berbunyi sejak mulai pukul 3-5 pagi. Tidak ada lagi teriakan untuk mematikan alarm kala sang empunya malah tetap tertidur lelap.

Saya mulai terbiasa dengan tidak adanya sikat gigi dalam wadah cangkir yang sama di kamar mandi. Hahaaaaa hal ini malah justru baru saya sadari beberapa hari setelahnya.


Saya mulai terbiasa membelikan oleh-oleh 2 bungkus. 1 untuk saya, satu untuk ibu. Saya mulai terbiasa bebas menonton channel TV favorit, meskipun saya sudah jarang menonton TV karena kelelahan sepulang kerja dan lebih memilih langsung tidur.

Saya baru sadar, ternyata serindu itu saya dengan kehadiran sosok yang kadang menyebalkan. Sosok yang mampu menenangkan kala serangan panik menyerang. Sosok yang mau mengantar dan menemani kala saya harus pergi sendirian. Sosok teman berdiskusi tentang hal-hal penting bahkan tidak penting sekalipun.


Ternyata saya cukup kehilangan teman di rumah.



Namun, perbedaan jarak dan waktu dipangkas oleh adanya teknologi. Kehadirannya digantikan oleh layar smartphone yang menampilakan wajahnya. Video call menjadi rutinitas baru setiap malam. Video call mampu membayar kerinduan dan mengisi kehadirannya di rumah. Makan malam menjadi lebih seru mendengar cerita adek saya kuliah hari pertama. Cerita ketika dia pergi ke Shibuya. Dan cerita-cerita lain yang tetap saya tunggu.


Sudah hampir sebulan dia pergi. Dan saya mulai terbiasa beradaptasi dengan perubahan dinamika yang terjadi.





Doakan saya, punya cukup uang dan waktu menyusul dia di sana yaaa.... :)


Komentar

  1. Wah adiknya kuliah ya mbak? Saya ingin juga sih sebenarnya... lanjut pendidikan universitas di sana. Entah kenapa dulu saya nggak melakukan itu. Sekarang tinggal "Yah..." saja :)))

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hai! :)
      Dia kuliah di Tokyo Institute of Technology. heheee.



      Belum terlambat, selagi masi muda, ayo kuliah lagi.... :D

      Hapus
  2. Semangat yaaaah semoga bisa nyusul adek ke sana entah itu untuk sekolah juga atau jalan-jalan. :D

    BalasHapus

Posting Komentar