Pengalaman Pertama Menjadi Jurnalis Olahraga
Setiap
liga basket bergulir di Yogyakarta, biasanya saya selalu bersemangat dan
menantikan menonton pertandingan sebagai penonton yang lebih sering dikatakan
fans (penggemar). Namun untuk tahun ini sedikit pengecualian. Untuk pertama
kalinya saya menonton basket bukan dari kacamata seorang fans tapi dari sudut
padang penulis atau orang biasa mengatakan jurnalis.
Meski
sama-sama menonton basket, namun kali ini prespektif yang saya gunakan bukan
lagi seorang fans yang hanya datang dan menonton. Tapi lebih melihat sisi lain
pertandingan itu sendiri. Melihat bagaimana antusiasme masyarakat yang datang,
melihat mengapa tim-tim papan bawah seperti tidak punya nyali ketika melawan
tim papan atas. Padahal kalo dilihat dari segi skill seharusnya tidak ada yang
jauh beda. Dari segi kecepatan juga sama. Mungkin hanya efektivitas saat
eksekusi yang masih mentah sehingga minim score. Atau mungkin strategi pelatih
tim papan atas memang sanggup dikerjakan dengan baik oleh para pemainnya.
Dengan
score yang timpang antara tim papan bawah dan papan atas tak salah memang jika
banyak yang akhirnya beranggapan jika laga kurang menarik, tidak greget, karena
sudah bisa diprediksi sejak awal bahkan sebelum game dimulai. Namun seri I di
Jakarta lalu dan seri II di Malang menjadi pengecualian. Karena Bandung Utama
sanggup membungkam Pelita Jaya. Pun saat seri II Aspac menyerah kalah oleh
Hangtuah Sumsel. Meski begitu hal ini hanya bisa ditemui sesekali. Kapan
datangnya tidak ada yang tau.
Saat
tim papan atas diluar prediksi mampu dikalahkan oleh tim medioker bahkan mampu dikalahkan
tim papan bawah, terkadang yang menonton hanya sedikit atau memang hanya fans
tim tersebut saja yang masih setia menonton. Penonton lain seperti merasa
kecolongon tidak ikut menyaksikan karena bisa dibilang hal ini sangat langka. Makanya
ada baiknya jika menonton semua pertandingan tim papan bawah maupun tim papan
atas. Karena tidak ada yang memprediksi kapan tim papan atas akan tumbang dan kapan
tim papan bawah sanggup memberi kejutan.
Tapi
lagi-lagi hal ini hanya atau bisa terjadi jika (1). Tim papan atas sedang
dibawah performa dan (2). Tim papan bawah memiliki mental juara yang lebih
baik. Jika kedua hal tersebut tidak terjadi ya kemenangan sudah dapat
diprediksi jauh sebelum waktu habis.
Menjadi
jurnalis dalam pertandingan olahraga memang bukan hanya datang menonton lalu
pergi, tapi bagaimana melihat hal dari sisi lain yang tidak dilihat oleh orang
lain. Susah-susah gampang ternyata. Mengingat ini menjadi pengalaman pertama
meliput dan menulis tentang pertandingan dari kacamata seorang jurnalis. Karena
biasanya lebih sering menulis dari sudut pandang fans yang hanya datang
menonton lalu pulang.
Sembilan
hari memang waktu yang sebentar, namun banyaknya pengalaman yang saya peroleh
dalam meliput pertandingan, menjadi modal awal saya untuk terus mengembangkan
diri dalam menulis. Meski banyak hal yang harus saya perbaiki. Selain banyak
pengalaman baru, bertambahnya networking
(koneksi) juga semakin membuka pintu akan kesempatan-kesempatan yang akan
terbuka di kemudian hari.
Terimakasih
buat Bang Idan yang sudah memberi kesempatan saya untuk meliput IBL seri
Yogyakarta. Meski pada akhirnya saya hanya ngerecokin meja media. Terimakasih pula
untuk IBL yang sudah menunjuk Yogyakarta sebagai tuan rumah. Sampai jumpa tahun
depan IBL fans..............
Komentar
Posting Komentar