Kegelisahan

Abis baca blognya Pandji, aku jadi berpikir sesuatu. Ada satu pikiran yang ga sama. Gelisah. Oke. Ini hanya subyektif yaa. Setiap orang pasti punya pikiran beda dan ga semua orang punya pendapat sama. Kali ini aku mau komentar kalo apa yaa. Gini deh. Dari judul tulisan “Menyesal Memilih Jokowi”. Pas aku baca emang judulnya buat menarik perhatian. Sekedar sensasi aja. Judulnya tidak memberi arti bahwa dia menyesal. Bahkan media online pun tak ketinggalan memuatnya. Karena memang topik ini lagi “panas-panasnya” di ibu kota sana. Jadi apa yang aku gelisahkan? Nah ini kutipan dari blog tersebut.


“Lah emang kalo presiden anda yang terpilih dan kemudian berbuat salah, apakah anda tidak mengkritiknya? Begitukah prinsip anda? Untung pilihan anda gak menang. Bahaya sekali menutup mata dan membuang muka setelah memilih Presiden. Kelakuannya seperti anak yang baru ikutan pemilu. Memilih lalu berpikir tanggung jawabnya berhenti di situ. Atau anda yakin sekali jika yang terpilih Presiden pilihan anda, dia PASTI tidak akan berbuat salah? Naif sekali.


Kalo dari kutipan diatas, saya akui saya terkesan “cuma” dateng, nyoblos, pulang, udah. Mau nanti yang saya pilih jadi presiden atau tidak. Saya kok ga peduli? Ya saya acuh. Masih banyak masalah hidup yang harus saya bereskan dan ini mikir masalah negara? Nonton TV sekarang aja, saya merasa muak. Entah mana yang benar-mana yang salah? Mana yang harus saya percaya? Semakin lama menonton TV dengan berita yang seperti ini dalam sehari kok malah bikin bodoh. Tidak bikin pintar? Yang ada, garapan saya, pekerjaan saya terganggu.


Tanggung jawab? Ya memang sebagai warga negara yang baik, tanggung jawab dan hak saya ya memberikan suara. Jika sudah. Yaa sudah. Masih ada tanggung jawab lain. Sebagai anak, sebagai mahasiswa. Tanggung jawab ini lebih berat daripada mempertanggung jawabkan apa yang telah saya pilih pada pemilu kemarin. Kenapa? Efeknya. Tanggung jawab sebagai anak yang harus membahagiakan orang tua, tanggung jawab mahasiswa yang dituntut segera lulus lebih realistis. Jadi saya harus tanggung jawab juga dengan apa yang saya pilih waktu pemilu? Dengan? Mengkritik? Ikut aksi? Ikut bikin petisi? Apa yang akan saya dapat dengan mengkritik? Apa? Apa? Hidup saya sendiri gak akan lebih baik juga kalo mengkritik. Sama aja. Sama-sama masih harus berjuang dari bawah dari NOL.


Tapi apa saya menyesal tidak memilih presiden X atau saya malah bangga telah memilih presiden Y? Saya tidak menyesal. Lalu jika presiden Y yang dulu saya pilih, dan sekarang memang jadi presiden akan saya kritik? Tidak juga. Kenapa. Apalah artinya suara saya? Apa artinya suara saya, rakyat biasa yang bukan apa-apa mengkritik? Jadi orang bener aja belom. Jadi kenapa?  Kenapa?

Apa saya benci kritik? Bukan. Tapi stigma masyarakat yang telah ada itu, bahwa “kritik” adalah benci. Kritik artinya tidak suka. Itu. jadi yaaa kalo ada yang bilang Kok mengkritik Jokowi? Udah gak mendukung ya? Menyesal ya?”saya rasa wajar. Karena bagi sebagian orang krtik itu pedang. Kritik bisa membunuh. Jadi yaa kalo tidak berani sekali yaaa jangan mengkrtik. Atau? Pulang ga selamat?


Apa saya mendukung kalian yang mengkritik? Melakukan petisi? Silahkan. Lanjutkan. Saya lanjutkan kerjaan saya. Kalian teruslah berjuang. Saya hanya bisa bantu doa. Saya bukan apa-apa dan saya ga bisa bantu apa-apa. Tak relevan kalo saya juga ikut turun ke jalan, ikut petisi. Biarlah suara saya diwakilakan orang lain. Rakyat Indonesia kan BANYAK. Banyak yang mau ikut berjuang dan udah gak ada tanggungan apa-apa, bukan mahasiswa, bukan sebagai “anak”.


Lega rasanya bisa nulis kegelisahan ini. Gelisah yang dari kemarin terus menghantui. Tulisan ini hanya untuk memenuhi kegelisahan saya saja. Tidak ada unsur apapun, tidak untuk menyudutkan atau menjelekkan siapapun. Saya minta maaf pada pihak yang yang mungkin akan tersingung, ini murni pikiran saya. Kalo punya pendapat lain yaa silakan, monggo.





Komentar